Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2018

Di Tepi Jalan

Mendung. Surabaya yang angkuh akhirnya merendah. Apakah yang kamu sebut dengan rindu? Aku cemas ingin pergi menumpang kereta. Lancar keluar jawaban ‘ya’ ketika tawaran itu datang. Sejenak lupa dengan kepentingan di kota perantauan. Bisakah kusebut itu rindu? Apakah yang kamu sebut dengan rindu? Perasaan tertahan-tahan. Ekspresi-ekspresi melankolis. Hujan yang membikinmu melamun dan tidak produktif. Beribu kilometer jauhnya, pikiranmu merantau. Apakah itu rindu? Dahulu, kita membeli es bersama seharga lima ratus. Kamu sakit batuk suatu hari, dan bilang padaku bahwa es itu mengandung cacing. Aku muntah-muntah. Kamu iri, & kamu sukses menipuku. Di sini tak kutemukan es yang serupa. Tak kutemukan pula penipu sehandal dirimu. Mengapa aku jadi rindu? Mendung. Surabaya yang berapi-api, sejenak ingin berteduh. Di seberangku stasiun kereta. Tanpa tiket. Orang-orang berjubel. Apa yang membuatku betah di sini? Surabaya yang mendung, atau rindu?

Jeruk dari Dayat

--Kamu mengajariku cara mencintai manusia-manusia kecil --those tiny human being.-- Di usia Dayat yang kurang lebih 14 tahun, aku masih melihatnya seperti anak berusia 9 tahun. Hari ini ia pulang dari acara wisata di Bukit Flora dan Masjid Cheng Hoo. Lagi-lagi aku terlambat menjemputnya. Alhamdulillah, ada Bu Etik, guru Dayat yang dalam pertemuan singkat itu, firasatku mengatakan kalau ia adalah tipikal guru yang dicintai muridnya. Sepanjang jalan pulang, Dayat bercerita. Bukit Flora sangat bagus, Masjid Cheng Hoo sangat mempesona dengan aksen cinanya, perjalanan panjang yang macet namun dinikmati dengan bernyanyi bersama, serta ia yang minum antimo ketika hendak berangkat dan pulang, sesuai perintahku. Dayat sedang dalam keadaan senang. Setelah mengenalnya melalui perjalanan pulang sekolah selama beberapa hari, jadi kumengerti kalau Dayat sedang ingin berbagi kebahagiaan. Ia hanya ingin bercerita, dan aku hanya perlu mendengar. Tipikal Dayat yang seperti inilah yang kusuka, ...