Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Well, setelah membaca judul di atas, jangan mengira saya akan mengkritisi pemerintahan atau jalannya sistem politik di negeri kita ini.

Sebagian besar kawan pembaca pasti sudah tahu, bahwa judul di atas tersebut adalah judul sebuah film Indonesia. Saya sungguh sangat-sangat-sangat terlambat menonton film keluaran 2010 ini pada tahun 2016. Tetapi, kurun waktu 6 tahun itu tidak mengubah realitas negeri yang terpotret dalam film tersebut, dan saya merasa, tulisan ini mungkin bisa mengingatkan sejenak kawan-kawan pada pesan moral yang  terkandung di dalamnya.

Ini adalah film drama komedi satire. Menceritakan tentang kisah seorang Muluk yang mencintai para bocah-bocah pencopet. Pencopet. Bayangkan, bisakah kalian menyayangi bocah-bocah seumuran kelas 4 SD yang pekerjaannya sehari-hari mencopet? Bocah-bocah yang berpakaian dekil, kotor, hitam, yang bisa membuat kalian jijik pada mereka, bahkan hanya dengan melihat saja? Bisakah kalian menyayangi bocah-bocah yang, ketika berada di dekat mereka, kalian akan selalu khawatir kalau-kalau dompet kalian tiba-tiba ditilap?

Film ini menyampaikan, bahwa para pencopet belum tentu para pendosa. Lingkungan merekalah yang membentuk mereka. Adalah lingkungan dan keterpaksaan yang mendidik mereka untuk menjadi pencopet.

Muluk datang ke dalam kehidupan bocah-bocah pencopet itu, turut mengajak kawan-kawannya Pipit dan Syamsul untuk mendidik dan mengubah mereka. Mengajarkan mereka agama, nasionalisme, serta mengubah kebiasaan mencopet mereka. Kalau ada yang bilang, Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia, maka inilah yang sebenar-benarnya Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia.

Perjuangan mereka tidak sia-sia, meski mereka tidak merasa demikian. Perbuatan yang baik memang tidak pernah dibuat sia-sia oleh Tuhan. Muluk, Pipit, dan Syamsul berhenti mendidik para pencopet. Kembali ke kehidupan lama mereka sebagai pengangguran, pencari rezeki undian, dan pemain kartu di poskamling. Tetapi, kita adalah hasil dari pengalaman yang kita lalui. Kehadiran Muluk, Pipit, dan Syamsul tidak berarti bukan apa-apa bagi para pencopet. Beberapa di antara mereka berubah menjadi pengasong, menyadari bahwa pencopet bukanlah profesi yang baik.

Dan pada bagian inilah, hati saya benar-benar tersentuh. Ketika para bocah pengasong, yang mulanya pencopet itu, dikejar-kejar Satpol PP. Muluk datang menyelamatkan mereka, menggantikan posisi mereka untuk ditangkap dan dibawa oleh mobil Satpol PP. Betapa Muluk mencintai mereka. Betapa ia tak menyalahkan para pencopet, para pengasong, namun menyalahkan orang-orang berpendidikan.

Iya. Pendidikan. Dari sini, saya faham, bahwa pendidikan ilmu-ilmu sains itu tidaklah penting. Jauh-jauh tidak penting dibanding moral yang buruk. Bukan inteligensi yang perlu ditingkatkan, namun juga moral. Nasionalisme. Jiwa Pancasila.

Saya akan sedikit tertawa, karena saya pasti sudah kedengaran seperti pengkritisi politik.

Salah seorang teman saya pernah berkata, bahwa pelajaran terbaik ada di jalanan. Dan saya mengerti itu. Kita tak akan bisa mengubah situasi, memperbaiki keadaan, apabila kita hanya menonton dari atas namun tidak benar-benar merasakannya di bawah. Kita tak tahu apa alasan pencopet mencopet, apa alasan pengemis mengemis. Sebagian besar pencopet atau pengemis memang punya motif yang tidak baik. Namun, pasti ada sebagian kecil, yang bila ditelisik lebih jauh, tak bisa disalahkan atas perbuatan mereka, karena, seperti yang saya bilang, lingkungan yang memaksa dan membentuk mereka.



Sumber : Trendezia.com


Moral. Jiwa. Hati. Itu yang penting. Pendidikan, ilmu sains, tak bisa disetarakan dengan tiga hal yang kusebut sebelumnya.

Para pengasong tak bisa begitu saja ditangkap Satpol PP dengan tuduhan mengganggu ketertiban lalu lintas, atau mengotori lingkungan. Memang benar, lalu lintas dan kebersihan jadi terganggu. Itu bila dipandang menurut logika. Tetapi, coba bawa hatimu. Mereka hanya butuh mencari uang halal, dan cara itulah yang mereka mampu.

Maka, akan saya ulangi, bahwa lingkungan yang membentuk seseorang. Pengasong dibentuk oleh keadaan. Terkadang karena kemiskinan yang mengurung mereka. Kemiskinan. Apa lagi yang menimbulkan kemiskinan bila tidak karena kekurangan uang dan biaya? Negara kita kaya, cukup untuk memenuhi kebutuhan seisinya, kecuali bila ada yang menilap.

Maka, mengutip ucapan Muluk, bagaimana kamu bisa merasa terganggu oleh para pengasong di jalanan--yang hanya berusaha mencari rezeki halal--sedangkan kamu tidak merasa terganggu oleh koruptor di atas sana yang menilap uang rakyat?

Kamu akan tahu, bahwa lucunya negeri ini, salah satunya ada dalam UUD Pasal 34 ayat (1), yang berbunyi: "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara." sedangkan dalam realitasnya, apabila tidak ditangkap Satpol PP, maka ada larangan memberi uang bagi pengemis. Atau, pilihan yang terakhir, mereka tetap terlantar.




23 April 2016.

Komentar

  1. Koreksi sedikit, artikelmu memang bagus dan jujur membuat saya terpukul sebagai orang terdidik yg teredukasi cukup baik. Tapi sepertinya kamu kurang paham akan "rezeki halal" dan UUD yg kamu bahas.

    Pertama, definisi rezeki halal adalah sesuatu yang hasilnya bukan dari hal yg illegal. Sedangkan PKL. Mereka illegal. Apakah itu halal?

    Kedua masalah negara melindungi fakir miskin dan anak anak terlantar. Sekedar info, negara dengan satpol pp sudah menjalankan tugasnya dengan menangkap dan membawa mereka ke dinas sosial lalu diberi pelatihan. Permasalahannya ada daerah yang hanya menangkap tanpa memberi solusi (pelatihan) karena formalitas saja.

    Itu aja sih menurut saya. Nice article. Keep writing! Salam blogger

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas masukannya.
      Saya juga koreksi mau sedikit. Pasti ada sebagian PKL atau pengasong yang kurang mengetahui apakah kegiatan mereka illegal atau tidak, karena faktor pendidikan mereka kurang memadai.
      Dan untuk satpol PP, saya setuju dengan pendapat kamu. Pemerintah daerah yang tidak bertanggung jawab itulah yang saya sebut 'lucu'. Mohon maaf kalau artikel saya jadi menimbulkan penafsiran bahwa pemerintah pusat yang tidak bertanggung jawab.

      Sekali lagi, terima kasih atas masukannya :)

      Hapus
  2. masalah sosial memang atnggung jawab bersama, tapi kalau ilegal ya harus ditertibkan dengan memberikan banyak solusi

    BalasHapus
  3. Keputusan harus dengan solusi. semoga pemimpin negri membaca artikel ini

    www.semesta-berbicara.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Memaknai

Resensi: Dilan Bagian Kedua (Dia Adalah Dilanku Tahun 1991)