Resensi : Dilan (Dia Adalah Dilanku Tahun 1990)

(Sumber gambar : ayahpidibaiq.blogspot.com)


Judul  :  Dilan (Dia Adalah Dilanku Tahun 1990)
Penulis  :  Pidi Baiq
Cetakan  :  XIII
Tahun Terbit  :  2015
Penerbit  :  Pastel Books
Tebal Halaman  :  330 halaman



Awalnya, aku sedang membuka-buka instagram dan men-scroll down beranda. Tiba-tiba muncul foto seorang penulis idolaku, Sri Izzati, tengah berfoto dengan seorang pria muda paruh baya, sekitar 40-an tahun bernama Pidi Baiq, dengan caption bahwa beliau tengah menghadiri launching sebuah buku berjudul Dilan 2, bersama semua penggemar Dilan dan Milea yang lain.

Oke. Aku tak paham apa maksudnya. Lalu tiba-tiba, suatu hari aku mampir ke Gramedia dan menemui buku yang judulnya Dilan, dengan nama Pidi Baiq terukir sebagai penulisnya. Karena dorongan bahwa penulis idolaku--Sri Izzati--membaca novel tersebut, maka kubelilah juga novel itu.


"Milea, kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja." (Dilan 1990)

"Milea, jangan pernah bilang ke aku ada yang menyakitimu, nanti, besoknya, orang itu akan hilang." (Dilan 1990)


Itu adalah petikan percakapan Dilan kepada Milea. Novel ini, seperti yang sudah bisa ditebak dari petikan dialog tersebut, menceritakan tentang kisah romansa. Dalam novel ini, kita dibawa kembali oleh Milea menuju Bandung di tahun 1990. Meski belum pernah tahu Bandung itu bagaimana, tapi jalan cerita dalam novel ini masih bisa dengan mudah diikuti.

Awalnya, aku agak kaget, mendapati bahasa di dalam novel ini yang berupa kalimat-kalimat pendek. Sungguh pendek. Tetapi, ketika mulai terbiasa dengan bahasanya, aku merasakan bahwa kalimat-kalimat pendek itu sungguh tidak mengganggu. Ayah Surayah (Pidi Baiq) menulis cerita ini dengan ringan, dengan kalimat pendek yang diksinya tidak ruwet dan njelimet. Sungguh ringan! Beneran, deh, nggak bohong! Tak ada kalimat-kalimat panjang yang merobek mata, dan pilihan kata yang  digunakan mungkin bahkan bisa dipahami anak SD. Ayah Surayah mampu menuliskan cerita dengan kalimat-kalimat sederhana, namun pesan yang disampaikan begitu dalam, bagai laut yang tampak dangkal  di permukaan namun memiliki palung dalam di bawahnya.

Kalau kamu bertanya, apa menariknya dari novel ini, maka jawabannya adalah : Dilan. Ya, itu judul buku ini yang sekaligus menjadi nama seorang tokoh utama. Kita diajak oleh Milea bernostalgia, kembali pada masa SMA-nya, khusunya kembali pada cerita-cerita yang pernah ia alami bersama orang yang sangat ia cintai, yaitu Dilan.

Dalam potongan percakapan di atas, kita bisa menebak bahwa Dilan adalah sosok yang berbeda, tak sama dengan remaja laki-laki kebanyakan. Dilan memberitahu kita cara mengungkapkan cinta dengan cara paling sederhana, istimewa, dan akan bisa selalu terkenang di kepala. Dilan memberitahu kita bahwa tak perlu sebuah pernyataan untuk menunjukkan perasaan cinta, dan tak perlu pula pernyataan terang-terangan untuk menunjukkan bahwa kita patah hati.

Kalau kamu penasaran, coba simak potongan cerita dan dialog ini :

SELAMAT ULANG TAHUN, MILEA.
 INI HADIAH UNTUKMU, CUMA TTS.
 TAPI SUDAH KUISI SEMUA. 
AKU SAYANG KAMU
AKU TIDAK MAU KAMU PUSING
KARENA HARUS MENGISINYA.
DILAN!


"Kamu pernah nangis?" kutanya.
"Waktu bayi, pengen minum."
"Bukan, ih!" kataku. "Pas udah besar. Pernah nangis?"
"Kamu tau caranya supaya aku nangis?" dia nanya.
"Gimana?"
"Gampang."
"Iya, gimana?"
"Menghilanglah kamu di bumi."


"Nah sekarang kamu tidur. Jangan begadang. Dan, jangan rindu."
"Kenapa?" kutanya.
"Berat." jawab Dilan. "Kau gak akan kuat. Biar aku saja."


"Kamu cemburu aku pergi dengan Kang Adi?" kutanya.
"Ah, cemburu itu hanya untuk orang yang enggak percaya diri."
"Jadi?"
"Dan sekarang, aku sedang tidak percaya diri."


"Apa masih harus aku bilang ke kamu--Lia aku mencintaimu. Gitu?
Kalau Lia mau, aku mau bilang."



Bisakah kamu melihat dan merasakan, bahwa Dilan benar-benar mampu membuat Milea merasa istimewa dengan caranya yang berbeda?

Aku kagum dengan Ayah Surayah yang mampu menciptakan karakter Dilan dengan begitu sederhana, namun istimewa. Dalam beberapa dialog, juga akan ditemukan Dilan yang seringkali melontarkan humor yang akan membuatmu ketawa. Dilan menjadi sosok yang humoris, ramah, baik hati, dan begitu berharga. Tanpa Dilan, novel ini tak akan menjadi Dilan.

Ini adalah buku pertama, dan masih belum menceritakan akhir hubungan dari Dilan dan Milea. Ada buku keduanya Masih belum kubaca sih, hehehe. Tapi akan segera kubaca. Dan kusarankan, kamu juga harus baca buku ini!

Itu saranku sih. Tapi kalau kamu tidak mau, aku oke-oke saja.

Terima kasih ya, sudah membaca resensi ini!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Belajar Memaknai

Resensi: Dilan Bagian Kedua (Dia Adalah Dilanku Tahun 1991)