Paper Towns (Ulasan)
![](https://images-na.ssl-images-amazon.com/images/I/51KzKL0YBtL._SX325_BO1,204,203,200_.jpg)
Jauh sebelum tertarik pada cerita ini, sebenarnya aku sudah berkali-kali berpapasan dengan novel ini beberapa kali, masih dengan cover yang sepertinya cetakan lama sebelum film-nya dibuat.
Kemudian aku menemukan sebongkah folder berisi film adaptasi dari novel ini dari laptop temanku. Berawal dari sana, aku tak lagi membiarkan diriku berpapasan dengan buku itu lagi secara sia-sia.
Ada satu hal penting yang membuatku kemudian jatuh cinta pada buku ini. Kali pertama aku menonton filmnya (well, bisa kau katakan aku sangat terlambat menonton filmnya) aku sejujurnya tak mengerti alur cerita yang dipersembahkan Margo dan Quentin. Ambigu, begitu menurutku. Satu hal yang kuketahui bahwa cerita Paper Towns ini mendongengkan kita tentang satu hal absolut yang tidak bisa dihapuskan sepenuhnya dari kehidupan manusia : menilai seseorang.
Aku tertarik memecahkan ketidakpahamanku ini dengan cara membaca versi novelnya. Kemudian pemahamanku bertambah.
Novel ini menceritakan tentang seorang nerdy guy bernama Quentin, yang jatuh cinta pada tetangganya, Margo Roth Spiegelman, sejak mereka masih anak-anak. Pada suatu sore, secara tidak sengaja mereka menemukan seonggok jasad di pinggir taman, dikelilingi lalat. Bagi Quentin, itu bukan hal yang perlu untuk diikut-campuri dan dipermasalahkan. Namun berbeda dengan Margo, itu adalah hal yang perlu diselidiki dan menjadi sebuah masalah penting. Maka, sejak hari itu, mereka tak lagi bermain bersama, seolah mengerti bahwa keduanya tidak bisa bersama-sama lagi karena perbedaan prinsip.
Quentin tumbuh menjadi remaja normal. Menyukai rutinitas, belajar, memikirkan masa depan, kuliah, dan pekerjaan. Margo tumbuh menjadi idola semua orang. Berpetualang ke belahan dunia lain, membobol memasuki tempat-tempat penting, atau mengikuti parade sirkus. Ia menjadi sosok seseorang dimana orang-orang lain ingin sekali menjadi dirinya. Menjadi Margo Roth Spiegelman, sang Ratu Sekolah.
Novel ini menceritakan perjalanan Quentin, yang pusat semestanya berpusar pada Margo. Melalui novel ini, John Green berusaha menepuk punggung kita untuk tidak menempelkan stereotipe pada orang lain. Untuk tidak membayangkan dan menginginkan seseorang seperti ini dan itu, layaknya sosok Margo yang dibayangkan oleh banyak orang selalu dengan versi dan stereotipe yang sama. Bahkan orangtua sekalipun, seperti orangtua Quentin yang menganggap bahwa Quentin tetaplah anak baik-baik hasil didikan mereka, tanpa mendengar lebih dalam isi hati Quentin mengenai Margo.
Aku belum mengerti metafora senar, rumput, dan wadah yang dituliskan oleh John Green. Tapi aku sangat menyukai kata-katanya, dimana kita semua bukanlah rumput, yang saling terhubung melalui sistem-sistem akarnya sehingga kita bisa menjadi satu sama lain. Dimana kita bisa memilih menjadi senar yang putus, yang berarti tidak akan bisa diperbaiki lagi jika rusak. Atau kita sebagai wadah yang retak, yang dengan retakan itu maka cahaya bisa masuk, maka kita bisa melihat ke dalam diri satu sama lain.
Don't judge book by its cover, mungkin menjadi quotes yang populer. Namun sejatinya sulit untuk dilaksanakan. Kehidupan Margo menunjukkan, bahwa betapa sulit untuk menjadi diri sendiri dalam suatu kelompok, untuk diterima di dalamnya. Tanpa sadar, untuk bisa diterima dalam suatu kelompok, maka kita harus mengubah diri kita sesuai dengan karakter kelompok tersebut, entah itu sedikit atau banyak. Stereotipe Margo sang Ratu Sekolah juga melekat begitu erat, menunjukkan betapa menyenangkannya dikagumi semua orang, diinginkan semua orang. Namun akan lebih menyenangkan lagi bila ide atau gagasan mengenai diri kita sendiri diterima oleh diri kita sendiri.
John Green sepertinya menginginkan kita untuk menjadi Quentin dan dua sahabatnya, Ben dan Radar. Tak peduli seberapa bodoh temanmu, ia tetap temanmu yang seperti itu. Bukan yang seperti ini. John Green sepertinya menginginkan kita, untuk bisa berteman dalam suatu kelompok dengan menerima satu sama lain apa adanya.
Novel ini, bagaimanapun, menurutku sedikit melankolis. Di beberapa bagian kau akan tertawa karena kekonyolan Ben, Radar, dan Quentin. Tapi ketika pusat pikiran Quentin kembali pada Margo, maka perasaan sedih yang melingkupiku tak bisa kuhindari--perasaan sedih Margo ketika ia tak bisa menjadi dirinya sendiri.
Novel ini memiliki ending terbuka. Margo pergi mencari kehidupan baru untuk menemukan jati dirinya, sedangkan Quentin kembali ke Orlando melanjutkan rencana masa depannya untuk kuliah dan mendapat pekerjaan. Beberapa orang mungkin tidak menyukai jenis ending yang seperti ini, tapi aku menyukainya. Ini jenis ending paling masuk akal dan melegakan yang bisa terjadi di kehidupan nyata.
Paper Towns, entah bagaimana, selain bercerita mengenai hilangkan-stereotipe-mengenai-seseorang, juga bercerita tentang melupakan cinta pertama--tentang Quentin yang merelakan Margo, supaya bisa menemukan dirinya sendiri.
"Aku berdiri di parkiran ini, menyadari bahwa aku belum pernah sejauh ini dari rumah, dan di sini ada gadis yang kucintai dan tak bisa kuikuti. Aku berharap inilah tugas seorang pahlawan, karena tidak mengikutinya adalah tindakan terberat yang pernah kulakukan." --Quentin (hlm. 350)
"Kau tahu apa masalahmu, Quentin? Kau selalu mengharapkan orang lain tidak menjadi diri mereka sendiri. Maksudku, aku bisa saja membencimu karena sangat jam karet dan tidak pernah tertarik pada apa pun selain Margo Roth Spiegelman, dan karena, misalnya, tidak pernah menanyaiku tentang pacarku--tapi aku tak peduli, man, soalnya kau adalah kau. Orangtuaku punya seton sampah Santa hitam, tapi itu bukan masalah. Mereka adalah mereka. Aku kadang-kadang terlalu terobsesi pada situs referensi internet untuk mengangkat telepon ketika temanku atau pacarku menelepon. Itu juga bukan masalah. Itulah aku. Kau tetap saja menyukaimu. Dan aku menyukaimu." --Radar (hlm. 223).
Komentar
Posting Komentar