Perpisahan di Malam Tahun Baru (Catatan)

Sudah jadi kebiasaan bagi adik sepupuku, untuk selalu pergi berlibur ketika musim liburan. Dari sekian pilihan kota sanak saudaranya, Pasuruan selalu jadi yang paling favorit. Ia suka menginap di rumah pakdhe dan budhenya, meskipun ketika di Pasuruan sendiri belum tentu mereka bersedia mengajak pergi berlibur.

Ayah selalu menyukai adik sepupuku yang satu itu; berikut pula dua adik perempuannya yang masih bayi-bayi. Ayah selalu bersedia menjemput mereka untuk dibawa menginap di Pasuruan. 

Tetapi, liburan kali ini ada beberapa hal mendesak. Saudara sakit. Mendekati penghujung liburan, baru ada kesempatan dan hari kosong untuk mengunjungi adik sepupu.

Hari Sabtu kemarin, hari terakhir di 2016, kami bertiga--aku, Ayah, dan Ibu, tidak termasuk kakakku karena beliau sudah berangkat kuliah--pergilah ke Malang untuk menjemput adik sepupu. Tak ada yang begitu mengesankan di perjalanan, kecuali fakta bahwa macet hinggap di setiap ruas jalan. Ada sedikit rasa bete waktu perjalanan. Biasanya, selalu ada musik dan lagu-lagu kesukaan yang diputar di mobil. Tapi, embuh kenapa, flashdisk-ku mancep tapi lagunya nggak bisa keputar. Jadi kupasang headset sambil ngantuk-ngantuk memperhatikan jalanan.

Memperhatikan orang-orang sudah jadi kegiatan menarik entah sejak kapan. Toko-toko di pinggir jalan yang tiap hari diembusi kepulan asap, bakul-bakul penjual kaki lima, para pengendara motor dengan berbagai ekspresi dan caranya menaiki kendaraan, semua hal itu benar-benar menarik.

Ada satu hal yang menggelitik di pikiran. Sekarang ini, sudah banyak plakat yang dipasang di persimpangan jalan; 'jangan memberi pengamen, pengemis, atau pengelap kaca mobil'. Sebagian dari mereka adalah anak-anak, yang notabene-nya masih perlu didikan. Apa tidak ada plakat-plakat yang lebih mengarah pada pendidikan anak-anak pengamen itu? Tidak hanya sekadar 'jangan memberi', tetapi juga 'mendidik'? Kalau dibiarkan saja dengan 'tidak diberi', maka anak-anak itu bisa maju lewat mana?

Jalanan sudah menjadi tempat profesi. Ada penjual lumpia, penjual tahu dan kacang, ibu-ibu pengemis, pengedar stiker Arema, dan ada badut juga.
Dengan wajah badut tersenyum lebar begitu, betapa kemungkinan besar wajah yang ada di baliknya menampilkan ekspresi yang berlawanan. (Jadi ingat dengan adegan-adegan sinetron yang anaknya malu mengakui bapaknya yang kerja jadi badut)

Skip. Singkat cerita, kami sampai di rumah Tante. Karena gangnya begitu kecil, mobilnya hanya bisa terparkir di luar dan kami masuk dengan jalan kaki. Seperti biasa, tidak ada kegiatan khusus kecuali ngobrol ngalur-ngidul. Juga bermain dengan adik-adik sepupu yang bayi-bayi. 

Adik sepupu yang paling bungsu berumur satu tahun. Beberapa bayi ada yang mau digendong oleh orang asing, dan beberapa yang lain tidak mau. Adik bayi yang satu ini tipe yang kedua. Terakhir kami ke sana, dia nggak mau digendong karena belum mengenal kami. Kunjungan kali ini dia mulai bisa digendong. Ternyata, bayi juga belajar mengenal dan bergaul.

Adik sepupu yang nomor dua usianya sekitar empat tahun. Dia yang paling usrek dibanding adik dan kakaknya. Usrek tapi manut. Dia yang paling disukai Ayah dan Ibu. 

Kami pulang jam setengah sebelas malam. Jalan pulang ke Pasuruan sudah lancar kalau malam-malam begitu. Kami bertiga pamit. Pada Tante, Om, dan dua adik sepupu yang masih bayi-bayi.

Setiap kali kami berkunjung dan pamit pulang, adik sepupu nomor dua yang empat tahun itu selalu rewel. Nangis masyaAllah, bisa semalam penuh nggak tidur sama sekali. Tapi kali itu, ia tidak rewel. Ia mencium tangan dengan patuh, diam, melihat kami bertiga berjalan menjauh hingga hilang di belokan gang. Ketika kuintip lagi, ternyata dia masih di sana, belum beranjak. Kuintip lagi, dia masih di sana.

Kami pulang. Itu kali pertama kami bisa berpamitan secara baik-baik. Tanpa rewel. 

Ternyata, bayi memang belajar banyak. Di malam tahun baru itu, adik sepupuku yang masih balita belajar untuk tidak rewel. Adik sepupuku yang masih balita itu, belajar untuk mengenal perpisahan; belajar untuk merelakan orang yang pergi. 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Belajar Memaknai

Resensi: Dilan Bagian Kedua (Dia Adalah Dilanku Tahun 1991)