Resensi : Muhammad Lelaki Penggenggam Hujan



Sumber gambar: goodreads.com


Judul : Muhammad Lelaki Penggenggam Hujan
Penulis : Tasaro GK
Cetakan : III
Tahun Terbit : 2010
Penerbit : Bentang
Tebal Halaman : 639 halaman


Buku ini sebenarnya telah saya baca sekitar empat bulan yang lalu, namun tertunda karena terjangan tugas kuliah, kemudian bisa saya lanjutkan lagi hingga tamat pada penghujung tahun ini.

Buku ini adalah seri pertama dari trilogi novel biografi Nabi kita tercinta, Rasulullah SAW. Sebelumya, saya tidak pernah membaca novel-novel berbau religi, tapi kemudian buku ini punya tarikan misterius yang membuat saya tidak lagi mengabaikannya.

Trenyuh. Sepertinya, satu kata itu cukup menggambarkan suasana hati saya ketika membaca buku ini. Dalam enam ratus halaman, saya menandai halaman-halaman yang membuat hati saya trenyuh, tersentuh. Tetapi kalau dituruti terus-menerus, bisa-bisa seluruh halaman saya tandai! Hehehe.

Bapak Tasaro GK pasti banyak melakukan riset dan menggali informasi untuk menulis buku ini. Tidak hanya bercerita soal Rasulullah saja, melainkan ada juga tokoh fiksi bernama Kashva yang menempuh perjalanan spiritual dalam menemukan Rasulullah SAW. Dari perjalanan inilah, betapa saya kagum bahwa ternyata kehadiran Rasulullah tidak hanya diprediksi dalam Islam atau Al-Kitab, melainkan juga agama-agama lain seperti agama kaum Persia zaman dahulu (ajaran Zoroaster, nabi Zardhust, atau apalah namanya), Budha, dan beberapa agama serta ajaran lama lainnya yang saya lupa apa saja namanya. Bahkan raja-raja besar seperti Heraklius tunduk dan percaya pada apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Prediksi-prediksi itu bermuara dari tafsir ayat kitab suci yang mengatakan bahwa akan ada nabi yang dijanjikan. Himada, Astvat-ereta, Maitreya, atau yang disebu Lelaki Penggenggam Hujan dalam Kuntap Sukt.

Kemudian diceritakan mengenai Rasulullah beserta sahabat-sahabatnya, dan bagaimana beliau memperlakukan orang-orang yang membencinya. Membaca novel ini, rasanya seperti benar-benar hadir di tempat di mana Rasulullah memintakan ampunan bagi kaumnya, ketika Rasulullah memaafkan musuh-musuhnya, bagaimana cara beliau memimpin dan mengayomi. Mengutip caption instagram yang pernah saya tulis:

Seperti yang diceritakan dalam kisah-kisah nabi, Muhammad kecil ikut dibawa pergi oleh pamannya Abu Thalib untuk berdagang ke Suriah, ketika mereka singgah di Biara Busra dan bertemu Pendeta Bahira. Sama halnya dengan sepupu Khadijah, Waraqah bin Naufal, yang menjumpai Rasulullah pada masa awal kenabiannya, ketika beliau belum memahami arti di balik kedatangan Jibril di Gua Hira. Sungguh beruntung orang-orang seperti mereka, yang meski tidak hidup pada masa pemerintahan dan kejayaan Rasulullah, tetapi pernah memiliki kesempatan untuk bertemu langsung dengannya, menatap wajahnya.

Mengenal Rasulullah melalui tulisan saja bisa mendatangkan perasaan yang damai. Maka bagaimana jika kita diberi kesempatan hidup dan bertemu langsung dengan Rasulullah pada zamannya? Tak peduli sejahiliah apapun budaya Arab kala itu, perasaan damai yang kita dapatkan mungkin berjuta-juta kali lipatnya.


Deretan-deretan paragraf ini tidak cukup mengatakan betapa buku ini patut disukai--betapa Rasulullah begitu dicintai. Pertama kali membaca, saya beberapa kali menangis mendapati paragraf-paragraf yang membuat saya trenyuh. Empat bulan kemudian, saya membacanya lagi--dengan sedikit lupa pada alur cerita sebelumnya--dan saya masih menangis.


Seandainya kita hidup di zaman Rasulullah. Seandainya kita diberi kesempatan menatap wajahnya meski sebentar..


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Belajar Memaknai

Resensi: Dilan Bagian Kedua (Dia Adalah Dilanku Tahun 1991)