Pertemuan, Sirkus Pohon, dan Pendapatku.




Sirkus Pohon bagiku adalah keajaiban kedua setelah tetralogi Laskar Pelangi. Keajaiban pula karena telah berhasil kuselesaikan dalam kurun waktu kurang dari sebulan, lebih tepatnya setelah menghabiskan novel teenlit karya Mas Sayfullan yang dibeli di tahun 2014.

Bincang-bincang soal buku dan Pak Cik Andrea Hirata, aku ingat dengan pertemuan bersama Mas Shofyan yang mengejutkan. Barangkali bukan pertemuan pertama, karena kami pernah jumpa di Jogja. Kami hanya belum berkenalan dan saling menghafal wajah di antara 60 peserta KampusFiksi waktu itu. Aku yang kala itu masih SMA, dan sekarang masih maba, dihadapkan pada orang-orang melek sastra macam Pak Edi, tentu saja masih bingung meraba-raba. Mas Daruz, Kak Jihan, dan banyak pula teman-teman KF yang begitu melek dan peka sastra. Aku belum punya cukup ilmu untuk nimbrung obrolan berat soal sastra, sehingga lebih suka jadi pendengar saja. Maka ketika kukatakan hal ini pada Mas Shofyan, juga memberikan pendapatku soal Cantik Itu Luka milik Eka Kurniawan yang banyak diperbincangkan di kalangan sastra namun bagiku ceritanya sungguh mbulet dan melebar ke mana-mana, Mas Shofyan berikan pendapatnya yang bagiku bijak: masalah menyastra atau tidak, bagus dan berat atau tidak, jika sebuah buku sudah sampai di tangan pembaca maka telah menjadi hak pembaca untuk memberi interpretasi apapun. Dan mungkin karena itu pula selama menulis ulasan atau resensi buku, aku belum bisa objektif. Masih terbawa pendapat umum.

Kembali ke Pak Cik Andrea Hirata, idola yang berkecambah di hatiku ketika aku duduk di kelas 8 SMP. Ketika aku bertanya kepada Mas Shofyan mengapa orang-orang bisa sejeli itu membaca novel sambil mempelajarinya, ia menjawab, "Barangkali karena kamu belum menemukan penulis yang pas denganmu."
Aku manggut-manggut. Berpikir, buffering. Kemudian ketika kubolak-balik lagi Sirkus Pohon dan kujumpa Devi sore ini, aku sadar: aku sudah punya idola yang pas denganku, tak lain tak bukan Pak Cik Andrea Hirata.

Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa aku repot-repot menyebutnya Pak Cik. Buat teman-teman pembaca Laskar Pelangi, pasti sudah mengerti bahwa Pak Cik adalah sebutan 'Pak' di Belitung. Rasanya menyenangkan saja bisa memanggilnya Pak Cik, membuatnya terdengar akrab, karena tentu saja membaca karya-karyanya banyak-sedikit membuatku lebih mengenal Pak Cik Andrea Hirata. Beliau pula yang menarik hatiku untuk tercebur di dunia sastra. Aku bisa menghabiskan satu seri Laskar Pelangi hanya dalam waktu tiga hari. Dulu aku pelanggan setia perpustakaan di SMP, sehingga penjaga perpus Mas Agung sering memberiku diskon denda pengembalian buku yang telat. Tetapi, ketika membaca karya Pak Cik, tak perlu ada denda. Dengan cepat kukembalikan, lalu kupinjam seri berikutnya, berikutnya, dan berikutnya. Aku jatuh cinta sangat pada karyanya tersebut, sehingga meski ending di novel Maryamah Karpov sungguh mengecewakan, aku tetap bersyukur pernah membaca karya legendarisnya. Terlebih-lebih, aku bersyukur pada perpustakaan SMP yang telah menyediakan bacaan yang berpengaruh, membuatku menyukai dunia sastra.

Seperti banyak sekali penggemar Pak Cik Andrea Hirata, aku bisa mengatakan bahwa aku tumbuh bersama Laskar Pelangi. Aku tumbuh bersama Ikal, Arai, Bu Muslimah, dan tokoh-tokohnya yang lain. Aku tumbuh dengan cerita-cerita Pak Cik tentang cinta, persahabatan, kekeluargaan, dan cita-cita.

Sirkus Pohon adalah keajaiban keduaku. Setelah Laskar Pelangi, aku belum pernah lagi baca karya Pak Cik. Pernah membaca Ayah dari perpustakaan SMA, namun belum bisa menyelesaikannya. Sebetulnya, meski belum selesai pun aku tetap jatuh cinta. Laskar Pelangi adalah cinta pertama, Ayah cinta kedua, dan Sirkus Pohon cinta ketiga. Cinta kedua dan ketiga yang bak cinta pertama, karena ketika membacanya membuatku jadi ingat kali pertama membaca karya Pak Cik di SMP.

Karya Pak Cik selalu indah buatku. Tema yang diusungnya ringan, dan mungkin itu yang menjadi alasanku untuk suka. Ketika banyak buku bercerita tentang patah hati, pembunuhan, perkosaan, atau hal-hal keruh lainnya, maka kutemukan yang jernih di buku Pak Cik. Cinta, persahabatan, kekeluargaan, kesederhanaan, kasih sayang, dan cita-cita. Sungguh suci rasanya. Aku lupa bagaimana tepatnya isi kalimat, tetapi ada dua hal yang sama kutemukan dalam Laskar Pelangi dan Sirkus Pohon, bunyinya seperti ini:

"Sungguh, tak ada yang lebih menyenangkan selain berada di antara orang-orang yang bermimpi besar."



Dan sampai sini, mungkin aku belum bisa berikan pendapat objektif buat Sirkus Pohon karena kebiasaanku mencintai karya Pak Cik. Terdengar berlebihan, aku pun butuh belajar. Bagiku, Sirkus Pohon sama mempesonanya, dan memiliki ending yang aneh meski tidak mengecewakan. Yang jelas, kalimat di atas menjadi penyemangatku.

Harus semangat, seperti Ikal yang bisa berkuliah di Sorbonne dan bertualang ke Rusia. Pesimis boleh, tetapi kita berada di sini. Di tempat ini. Dan tidak melangkahi nasib.







Pasuruan, 29 Januari 2018.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Belajar Memaknai

Resensi: Dilan Bagian Kedua (Dia Adalah Dilanku Tahun 1991)