Buku dan Nyoblos

Seorang kakak tingkat mengirimkan sebuah e-book di grup line LPM kami, LPM Satu Kosong ITS. Mas Beryl sebegitu perhatiannya sampai-sampai ingat dan repot-repot mengajak kami semua membaca buku di tengah-tengah kegabutan libur lebaran sekaligus semester. Jauh hari, sebenarnya aku sudah berencana membaca buku pinjaman dari seorang teman, tapi karena Mas satu ini begitu baik hati mengajak kami produktif dengan rencana akan mendiskusikan buku itu, maka kuletakkan buku pinjaman Mas Shofyan ke prioritas kedua (maafkan saya Mas :"

Awalnya, aku yang memang tidak memiliki kecenderungan politik dan bertemu dengan orang-orang seperti Mas Beryl, Mas Idfy--dan teman-teman seangkatan sekalipun seperti Affan, Brian, Wildan--rasanya sedikit risih medengar obrolan mereka soal keadaan politik di dalam dan di luar ITS, soal ideologi, dan soal siapakah politikus favoritmu. Sama seperti membaca buku ini, ketika mengerti kalau ceritanya berkisah tentang zaman Orba dan Reformasi, aku membatin, "Memangnya apa yang kamu harapkan, Nggit? Bacaan non-politik related? Dari orang-orang yang politik sangat?"

Yah. Karena sudah terlanjur berupaya menamatkan buku itu, akhirnya kutamatkan juga sampai Malam Pilkada, malam tadi. Aku sedang mau belajar mengosongkan wadah tanpa mengosongkan kotak bekal. Aku sangat suka buku Tante Leila S. Chudori satu itu, dan di satu sisi begitu sedih karena aku membacanya dari kiriman ebook gratisan Mas Beryl. Selain karena itu bukan perilaku baik, aku juga sedih karena buku bagus paling baik dimiliki dalam betuk fisiknya.

Laut Bercerita bercerita tentang Biru Laut, dan tokoh lainnya yang nama-namanya menurutku begitu indah. Biru Laut adalah seorang aktivis Winatra, organisasi junior di bawah Wirasena, yang artinya membagi secara rata dan keberanian. Ia yang idealis sangat berkebalikan dengan adiknya yang pragmatis, Asmara Jati. Dalam perjalanannya sebagai aktivis bersama Sunu Dyantoro, Gala Pranaya, Kasih Kinanti, Alex Perazon, Daniel Tumbuan, dan kawan-kawan lain, ia belajar disiksa; disetrum, digantung terbalik, disiram air es, dan macam-macam kreasi penyiksaan yang tidak berperikemanusiaan. Mereka hidup berpindah-pindah, memutuskan kontak dengan keluarga, dan menjadi buron. Biru Laut tak lagi bisa hadir dalam tradisi keluarganya untuk makan malam bersama di Minggu keempat tiap bulan.

Biru Laut benar-benar tak lagi bisa hadir dalam tradisi keluarganya, ketika beberapa kawan yang dikerangkeng bersamanya kemudian dibebaskan, sedangkan ia dan 12 nama lain entah bagaimana nasibnya. Bapak dan Ibu tetap membersihkan buku-buku Mas Laut di kamarnya, menyiapkan empat piring di meja makan, dan selalu menunggu 15 menit untuk "siapa tahu Mas Laut tiba-tiba muncul di pintu" sebelum akhirnya memulai makan malam.

Asmara adalah seorang dokter yang terbiasa menekan emosinya di hadapan keluarga pasien. Menurutnya, hanya ada iya dan tidak, berhasil dalam mengoperasi atau gagal. Pemandangan kesedihan Bapak dan Ibu yang setiap hari dilihatnya perlahan-lahan membuatnya senewen. Pada titik di mana Bapak akhirnya meninggal digerogoti kesedihan, Asmara tak lagi bisa bersikap rasional seperti biasanya, sepeti yang selalu ia lakukan sekalipun Mas Laut tidak kembali. Aku kagum pada Asmara Jati dalam buku ini. Bagiku, ia tokoh paling kuat. Aku kagum dan ikut menangis.

Untukku yang tidak pernah bersentuhan dengan zaman Orba dan Reformasi kecuali di buku PKN dulu, Tante Leila S. Chudori banyak memberi pelajaran. Beliau tahu caranya menulis peristiwa politik melegenda di negeri ini tanpa membuat orang-orang apatis sepertiku banyak bertanya. Beliau pandai menulis sehingga mau membuat aku yang apatis ini sedikit empatik pada peristiwa politik melegenda itu. Beliau pandai menulis sehingga orang-orang seperti diriku ikut larut, terbawa, dan sejenak menjadi ingin mempelajari peristiwa itu lebih dalam.

Aku belum sering berkumpul dengan teman-teman di LPM. Pun kakak-kakak tingkat 2 tahun di atasku juga sepertinya banyak yang belum kukenal, kecuali Mas Beryl yang baik. Aku belum terlalu sering berkumpul--barangkali hanya 3-4 kali ke ruang sekre dalam setahun ini serta event Rumah Menulis-- tetapi keramahan mereka mengalahkan teman-temanku yang kujumpai setiap hari.

Ketika mencapai akhir buku ini, membaca biodata penulis dan blurb di halaman ebook paling akhir, aku baru ingat kalau keesokan harinya ada pilkada. Aku baru berniat ingin belajar tentang politik, dan aku baru ingat kalau aku hanya nonton debat panelis satu kali. Besok sudah mencoblos tapi aku tak tahu siapa itu Khofifah, Emil Dardak, Gus Ipul, dan Puti. Tiba-tiba aku merasa berdosa dengan kuncup kecil niatanku satu itu.






Pasuruan, 27 Juni 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Belajar Memaknai

Resensi: Dilan Bagian Kedua (Dia Adalah Dilanku Tahun 1991)