Sesuatu di Jogja
"Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku."
-Umar bin Khattab
Keberangkatanku ke Jogja selalu dibarengi dengan segembok rasa anxiety, lebih-lebih kecemasan akademik. 2 kali pula ke Jogja membawa misi belajar masih sambil membawa-bawa perasaan 'seandainya'.
Kemudian membaca kalimat di paragraf pertama, aku menjadi tenang karena jika memang benar begitu, maka perjalananku ke Jogja tidaklah sia-sia. Dan aku perlu untuk lebih mampu merayakan peristiwa yang terjadi di masa sekarang.
Sosmascamp dimulai ketika aku menumpang Kereta Pasundan menuju Jogja pada tanggal 7 November 2019. Bersama salah satu adik kesayangan di BPU, Dek Risma, kami berangkat bersama-sama. Berkenalan dengan beberapa teman sesama kampus Surabaya. Nida dari Unesa dan Farid dari ITS. Setelah menunggu selama hampir 2 jam, ada teman-teman panitia yang menjemput kami, Lovinda dan Irvan--yang wajahnya mirip sekali dengan Mas Anggit kakak kelasku semasa SMA. Teman-teman panitia ini ternyata kebanyakan angkatan 2018. Meskipun begitu, aku tetap memanggil mereka dengan sebutan Mbak Mas khas orang Jawa sebagai bentuk penghormatan pada orang yang tidak dikenal.
Kami menuju Grha Sabha Pramana dan bertemu peserta lainnya. Itu adalah kali pertamaku masuk sedekat itu dengan UGM. Bila sebelumnya hanya berfoto di anak tangga terbawah sisi depan GSP, hari itu aku menginjakkan kakiku di lantai GSP, sekalipun tidak masuk ke dalamnya. Ingatanku tentang UGM rasanya seperti di-refresh kembali setelah sekian lama sejak kali terakhir mampir ke kampus ini.
Terlepas dari segala tetek bengek persiapan keberangkatan, akhirnya kami tiba di desa tujuan. Dusun Ngepring, Pakem, Purwobinangun, Jogjakarta. 8 kilometer dari kawah Merapi. Pembukaan acara yang cukup mengejutkanku karena tidak kusangka-sangka kalau ternyata Mas Fathur turut hadir memberikan sambutan. Melihatnya secara langsung, membuatku semakin respek kepadanya. Bukan hanya seorang hafidz dengan segudang karakter impian perempuan, tetapi yang patut dihargai dari beliau adalah keberanian dan keyakinannya untuk memperjuangkan hal-hal yang dianggap benar.
Pada akhirnya, kami dibagi kelompok dan tiba di rumah asuh masing-masing. Aku berkenalan dengan teman sekamar yang kelak menjadi saudara perempuanku selama 5 hari menginap di Jogja. Biya saudara sepantaran asal UI yang rapi, Vemy lebih muda setahun asal Palembang yang sedikit teledor dan juga kocak, Muti teman seumuran asal Solo yang berkuliah di Jember dan punya ilmu make up yang memadai, kemudian si kecil Naya mahasiswa ilmu sejarah UGM asal Malang yang darinya aku ikut mengimitasi bahasa 'po' khas orang Jogja. Kemudian, yang terakhir adalah LO-ku yang kelak menjadi LO paling berdedikasi dan paling tersayang, Mega, setahun lebih muda asal Palembang yang menganggapku seumuran dengannya, yang darinya aku ikut belajar untuk memiliki sikap down to earth kepada warga desa, dan sikap mengayomi teman-teman yang menjadi tanggung jawabnya. Bersama-sama, kami tinggal dan menghabiskan waktu di rumah Ibu RT bersama anak-anaknya, yang kelak menjadi hal paling berat untuk ditinggalkan ketika waktu pulang tiba.
Akan panjang sekali jadinya, jika aku menceritakan satu per satu kejadian di lima hari berikutnya. Ada banyak sekali pelajaran yang bisa kupetik. Mulai dari pak Nuradi Indra, founder Taman Baca Mata Aksara yang merupakan taman baca terbaik se-Yogyakarta. Kemudian Kak Panji Aziz, founder Isbanban (Istana Belajar Anak Banten), yang darinya memberikan sebuah reminder bahwa pekerjaan volunteer sosial ini adalah sebuah pekerjaan yang melibatkan hati dan emosi. Yang darinya aku ikut terbawa arus emosi untuk menitikkan air mata mendengarkan kisah Daiz yang hanya ingin makan es krim Paddle Pop. Hingga materi terakhir yang dibawakan oleh Azis Setya Wijaya mengenai pengembangan desa melalui bumdes, yang cukup membuka pikiranku mengenai perpolitikan di tingkat desa yang ternyata sudah cukup rumit.
Hari-hari di desa berlanjut hingga hari di mana kami mempersiapkan sebuah Social Project bersama kelompok masing-masing. Aku termasuk dalam kelompok Literasi, bersama Ibnu, teman sesama BPU yang lebih kukenal dedikasinya di sini ketimbang di BPU. Kami mempersiapkan segalanya di Masjid, mulai dari rapat pembahasan hingga persiapan properti. Social Project kami bernama "Gelas Kaca: Gerakan Literasi Asik, Wujudkan Keluarga Penuh Ci(n)ta."
Berdurasi kurang-lebih 3 jam, sospro ini kunilai cukup sukses dan berjalan lancar, meskipun ke depannya aku kurang bisa memprediksikan apakah sospro ini mampu berjalan secara sustainable atau tidak. Yang terpenting, segala persiapan kami pada hari-hari sebelumnya tidak sia-sia, dan buku anak-anak yang telah dikumpulkan mampu menjadi ladang amal jariyah kami ketika mampu dibaca adik-adik SD dan mampu memicu suatu pemikiran positif di dalam kepala kecil mereka.
Lewat sospro ini aku mengenal dan menghafal beberapa nama. Salma yang terasa familier denganku, Akbar koor PDD muda, Yoga si kocak yang mendekatiku ketika melihat laptopku, Nur dan Yuddit asal ITY, Mba Azka yang cantik, Hilma, Humaira, Nabila, Arum yang estetik, Teh Isni pengurus PAS Salman, Mas Taufik yang keren, Ridho pasangannya Vemy, Naufal Salut asal UGM, Faela, dan banyak nama lainnya.
5 hari ini ditutup dengan Night Show yang bukan aku banget. Hahaha. Penampilan-penampilan yang ramai dengan lampu gemerlap sempat membuat kepalaku pusing dan ingin sekali pulang duluan ke rumah. Tapi, jika bukan karena sebuah penilaian ansos yang akan tercap pada diriku, aku pasti sudah menjadi egois dengan menuruti egoku sendiri untuk pulang ke rumah. Hehe. Salah satu aspek diriku yang lagi-lagi baru kutemukan sekarang: belajar menjadi tidak egois sekalipun rasanya sungguh tidak nyaman. Tapi ini sebuah pembelajaran untuk menjadi bagian dari masyarakat.
Oh iya, dan dari night show ini aku berkesempatan berbicara dengan LO kelompokku yang kelihatannya amat pendiam, Kak Vico, meskipun percakapan kami hanya sebatas tanya dan jawab. (Kak Vico, makasih ya buat gantungan kunci UGM-nya. Hatur nuhun)
Menginjak hari terakhir, adalah hari yang paling trenyuh bagiku. Apa-apa yang tertahan rasanya ingin keluar dari mata. Ibu Ida dan Pak Gunawan yang amat baik, pasangan Bapak-Ibu RT pemilik angkringan Sunade yang dicintai oleh anak-anak, bersama-sama putra-putrinya Wikan, Argill, Amira, dan Aira. Dengan tangan terbuka senantiasa menerima kami dan menegur kami untuk makan tepat waktu. Sebuah kehangatan yang akan sulit ditemukan sekembalinya aku ke Surabaya. Sebuah kehangatan angkringan Sunade yang hanya ada di Dusun Ngepring, lereng Gunung Merapi. Kasih sayang sebuah keluarga yang kerap kali membuat hatiku goyah.
Kami kembali ke UGM. Aku naik motor bersama panitia, turut menikmati semilir angin di lereng Gunung Merapi hingga kembali ke kampus UGM. Setelah sesi foto-foto yang meriah, kami akhirnya bertolak menuju tujuan akhir masing-masing--kampung halaman, universitas masing-masing, atau destinasi wisata Yogyakarta sebagai penutup kisah di Jogja. Dengan begitu, berakhirlah kisah Sosmascamp 7 ini.
Teman seperjalanan sekereta: Dek Risma, Alfi, & Afifah. Jumpa terakhir dengan Alfi dan Afifah ada di lobi Stasiun Lempuyangan, dan semoga bukan menjadi yang terakhir. Kami kembali ke kota masing-masing. Aku pulang ke Surabaya, membawa sebuah cerita baru mengenai Yogyakarta.
Terimakasihku untuk panitia Sosmascamp 7, teman-teman peserta, teman serumah-sekamar tersayang, dan LO rumahku tercinta si Mega. Dan paling utama, terimakasih terbesarku untuk rumah Angkringan Sunade beserta semua anggota keluarganya. Satu hal baru yang kumiliki sepulangnya dari Yogyakarta: aku punya rumah & keluarga baru di Lereng Gunung Merapi.
(Foto akan menyusul)
-Umar bin Khattab
Keberangkatanku ke Jogja selalu dibarengi dengan segembok rasa anxiety, lebih-lebih kecemasan akademik. 2 kali pula ke Jogja membawa misi belajar masih sambil membawa-bawa perasaan 'seandainya'.
Kemudian membaca kalimat di paragraf pertama, aku menjadi tenang karena jika memang benar begitu, maka perjalananku ke Jogja tidaklah sia-sia. Dan aku perlu untuk lebih mampu merayakan peristiwa yang terjadi di masa sekarang.
Sosmascamp dimulai ketika aku menumpang Kereta Pasundan menuju Jogja pada tanggal 7 November 2019. Bersama salah satu adik kesayangan di BPU, Dek Risma, kami berangkat bersama-sama. Berkenalan dengan beberapa teman sesama kampus Surabaya. Nida dari Unesa dan Farid dari ITS. Setelah menunggu selama hampir 2 jam, ada teman-teman panitia yang menjemput kami, Lovinda dan Irvan--yang wajahnya mirip sekali dengan Mas Anggit kakak kelasku semasa SMA. Teman-teman panitia ini ternyata kebanyakan angkatan 2018. Meskipun begitu, aku tetap memanggil mereka dengan sebutan Mbak Mas khas orang Jawa sebagai bentuk penghormatan pada orang yang tidak dikenal.
Kami menuju Grha Sabha Pramana dan bertemu peserta lainnya. Itu adalah kali pertamaku masuk sedekat itu dengan UGM. Bila sebelumnya hanya berfoto di anak tangga terbawah sisi depan GSP, hari itu aku menginjakkan kakiku di lantai GSP, sekalipun tidak masuk ke dalamnya. Ingatanku tentang UGM rasanya seperti di-refresh kembali setelah sekian lama sejak kali terakhir mampir ke kampus ini.
Terlepas dari segala tetek bengek persiapan keberangkatan, akhirnya kami tiba di desa tujuan. Dusun Ngepring, Pakem, Purwobinangun, Jogjakarta. 8 kilometer dari kawah Merapi. Pembukaan acara yang cukup mengejutkanku karena tidak kusangka-sangka kalau ternyata Mas Fathur turut hadir memberikan sambutan. Melihatnya secara langsung, membuatku semakin respek kepadanya. Bukan hanya seorang hafidz dengan segudang karakter impian perempuan, tetapi yang patut dihargai dari beliau adalah keberanian dan keyakinannya untuk memperjuangkan hal-hal yang dianggap benar.
Pada akhirnya, kami dibagi kelompok dan tiba di rumah asuh masing-masing. Aku berkenalan dengan teman sekamar yang kelak menjadi saudara perempuanku selama 5 hari menginap di Jogja. Biya saudara sepantaran asal UI yang rapi, Vemy lebih muda setahun asal Palembang yang sedikit teledor dan juga kocak, Muti teman seumuran asal Solo yang berkuliah di Jember dan punya ilmu make up yang memadai, kemudian si kecil Naya mahasiswa ilmu sejarah UGM asal Malang yang darinya aku ikut mengimitasi bahasa 'po' khas orang Jogja. Kemudian, yang terakhir adalah LO-ku yang kelak menjadi LO paling berdedikasi dan paling tersayang, Mega, setahun lebih muda asal Palembang yang menganggapku seumuran dengannya, yang darinya aku ikut belajar untuk memiliki sikap down to earth kepada warga desa, dan sikap mengayomi teman-teman yang menjadi tanggung jawabnya. Bersama-sama, kami tinggal dan menghabiskan waktu di rumah Ibu RT bersama anak-anaknya, yang kelak menjadi hal paling berat untuk ditinggalkan ketika waktu pulang tiba.
Akan panjang sekali jadinya, jika aku menceritakan satu per satu kejadian di lima hari berikutnya. Ada banyak sekali pelajaran yang bisa kupetik. Mulai dari pak Nuradi Indra, founder Taman Baca Mata Aksara yang merupakan taman baca terbaik se-Yogyakarta. Kemudian Kak Panji Aziz, founder Isbanban (Istana Belajar Anak Banten), yang darinya memberikan sebuah reminder bahwa pekerjaan volunteer sosial ini adalah sebuah pekerjaan yang melibatkan hati dan emosi. Yang darinya aku ikut terbawa arus emosi untuk menitikkan air mata mendengarkan kisah Daiz yang hanya ingin makan es krim Paddle Pop. Hingga materi terakhir yang dibawakan oleh Azis Setya Wijaya mengenai pengembangan desa melalui bumdes, yang cukup membuka pikiranku mengenai perpolitikan di tingkat desa yang ternyata sudah cukup rumit.
Hari-hari di desa berlanjut hingga hari di mana kami mempersiapkan sebuah Social Project bersama kelompok masing-masing. Aku termasuk dalam kelompok Literasi, bersama Ibnu, teman sesama BPU yang lebih kukenal dedikasinya di sini ketimbang di BPU. Kami mempersiapkan segalanya di Masjid, mulai dari rapat pembahasan hingga persiapan properti. Social Project kami bernama "Gelas Kaca: Gerakan Literasi Asik, Wujudkan Keluarga Penuh Ci(n)ta."
Berdurasi kurang-lebih 3 jam, sospro ini kunilai cukup sukses dan berjalan lancar, meskipun ke depannya aku kurang bisa memprediksikan apakah sospro ini mampu berjalan secara sustainable atau tidak. Yang terpenting, segala persiapan kami pada hari-hari sebelumnya tidak sia-sia, dan buku anak-anak yang telah dikumpulkan mampu menjadi ladang amal jariyah kami ketika mampu dibaca adik-adik SD dan mampu memicu suatu pemikiran positif di dalam kepala kecil mereka.
Lewat sospro ini aku mengenal dan menghafal beberapa nama. Salma yang terasa familier denganku, Akbar koor PDD muda, Yoga si kocak yang mendekatiku ketika melihat laptopku, Nur dan Yuddit asal ITY, Mba Azka yang cantik, Hilma, Humaira, Nabila, Arum yang estetik, Teh Isni pengurus PAS Salman, Mas Taufik yang keren, Ridho pasangannya Vemy, Naufal Salut asal UGM, Faela, dan banyak nama lainnya.
5 hari ini ditutup dengan Night Show yang bukan aku banget. Hahaha. Penampilan-penampilan yang ramai dengan lampu gemerlap sempat membuat kepalaku pusing dan ingin sekali pulang duluan ke rumah. Tapi, jika bukan karena sebuah penilaian ansos yang akan tercap pada diriku, aku pasti sudah menjadi egois dengan menuruti egoku sendiri untuk pulang ke rumah. Hehe. Salah satu aspek diriku yang lagi-lagi baru kutemukan sekarang: belajar menjadi tidak egois sekalipun rasanya sungguh tidak nyaman. Tapi ini sebuah pembelajaran untuk menjadi bagian dari masyarakat.
Oh iya, dan dari night show ini aku berkesempatan berbicara dengan LO kelompokku yang kelihatannya amat pendiam, Kak Vico, meskipun percakapan kami hanya sebatas tanya dan jawab. (Kak Vico, makasih ya buat gantungan kunci UGM-nya. Hatur nuhun)
Menginjak hari terakhir, adalah hari yang paling trenyuh bagiku. Apa-apa yang tertahan rasanya ingin keluar dari mata. Ibu Ida dan Pak Gunawan yang amat baik, pasangan Bapak-Ibu RT pemilik angkringan Sunade yang dicintai oleh anak-anak, bersama-sama putra-putrinya Wikan, Argill, Amira, dan Aira. Dengan tangan terbuka senantiasa menerima kami dan menegur kami untuk makan tepat waktu. Sebuah kehangatan yang akan sulit ditemukan sekembalinya aku ke Surabaya. Sebuah kehangatan angkringan Sunade yang hanya ada di Dusun Ngepring, lereng Gunung Merapi. Kasih sayang sebuah keluarga yang kerap kali membuat hatiku goyah.
Kami kembali ke UGM. Aku naik motor bersama panitia, turut menikmati semilir angin di lereng Gunung Merapi hingga kembali ke kampus UGM. Setelah sesi foto-foto yang meriah, kami akhirnya bertolak menuju tujuan akhir masing-masing--kampung halaman, universitas masing-masing, atau destinasi wisata Yogyakarta sebagai penutup kisah di Jogja. Dengan begitu, berakhirlah kisah Sosmascamp 7 ini.
Teman seperjalanan sekereta: Dek Risma, Alfi, & Afifah. Jumpa terakhir dengan Alfi dan Afifah ada di lobi Stasiun Lempuyangan, dan semoga bukan menjadi yang terakhir. Kami kembali ke kota masing-masing. Aku pulang ke Surabaya, membawa sebuah cerita baru mengenai Yogyakarta.
Terimakasihku untuk panitia Sosmascamp 7, teman-teman peserta, teman serumah-sekamar tersayang, dan LO rumahku tercinta si Mega. Dan paling utama, terimakasih terbesarku untuk rumah Angkringan Sunade beserta semua anggota keluarganya. Satu hal baru yang kumiliki sepulangnya dari Yogyakarta: aku punya rumah & keluarga baru di Lereng Gunung Merapi.
(Foto akan menyusul)
Komentar
Posting Komentar