Resensi : Cantik Itu Luka
Ini adalah resensi novel pertama yang kubuat. Dan bodohnya, anak tak berpengalaman menulis dan mengkritik sepertiku menjatuhkan pilihannya untuk menulis resensi mengenai novel legendaris Eka Kurniawan.
(Sumber gambar : ekakurniawan.com)
Judul : Cantik Itu Luka
Penulis : Eka Kurniawan
Tahun Terbit : 2002
Penerbit : AKYPress, Penerbit Jendela, Gramedia Pustaka Utama.
Tebal Halaman : 481 halaman.
Hahaha. Maafkan pembukaan yang begitu tidak enak itu ya, kawan. Di sini, aku ingin membagikan sedikit pandanganku mengenai novel terkenal karya Eka Kurniawan: Cantik Itu Luka, dari sudut pandang seorang pembaca pemula berusia belasan tahun sepertiku. Tentunya ini juga setelah membaca resensi-resensi lainnya. Mohon maklumlah, belum pernah mengkritisi sebuah novel sebelumnya. Jadi, sambil baca-baca referensi, juga bikin tulisan orisinil karya sendiri. Hehehe ...
Novel ini kubeli bulan Juni lalu. Sungguh, sebuah penundaan yang tak termaafkan karena aku baru sempat membacanya enam bulan kemudian. Resensi ini boleh dibilang sedikit kuno, terlambat, kudet, atau apapunlah itu. Tapi, biarkan tulisan ini mengalir dulu yaa ...
Novel ini kubaca sepotong-sepotong, mencuri waktu di sela-sela mengerjakan tugas yang tiada henti. Sampai akhirnya, sepanjang hari kemarin dan hari ini, novel itu akhirnya bisa habis dalam satu tempo membaca yang sangat panjang, terpotong hanya untuk mandi, makan, sholat, kencing, dan tidur.
Seperti yang banyak dikatakan oleh para resensator lain, bahwa Cantik Itu Luka merupakan sebuah karya fiksi yang dibalut sejarah. Aku tak mau mengatakan apapun mengenai sejarah, karena sejak masa koloni Belanda sampai akhir kekuasaan kaum komunis, aku belumlah lahir, tak pernah tahu lebih dalam mengenai alur sejarah itu, dan masih sangat buta untuk menyentuh ranahnya.
Awalnya, ada sedikit ketidaknyamanan ketika banyak sekali ditemukan adegan-adegan tak senonoh, yang meski itu sebuah kenyataan pada masanya, tetap terasa agak mengganjal karena sebelumnya jarang sekali membaca mengenai hal demikian.
Kedua, masih mengacu pada resensi-resensi lain yang telah kubaca, aku setuju pada sebuah pernyataan bahwa penulis dengan lihai memainkan alur akibat-sebab, bukan sebab-akibat. Penulis dengan mudahnya membuat alur maju mundur, begitu tak kentara. Novel yang memiliki cerita yang kompleks ini bisa dituturkan dengan demikian ringannya, demikian mengalirnya, mengandung kejutan dan twist-nya sendiri. Hingga di beberapa bab dan bagian, bisa kudapati diri sendiri mengatakan, "lho, ini ada hubungannya toh sama yang ini?", "ooh jadi ini awal cerita dari yang ini..", serta "ooh, ternyata ini berhubungan toh." dan mungkin "ooh" atau "lho" yang lain.
Ketiga, kembali mengacu pada resensi-resensi lainnya lagi, hehehe, bahwa karakter dalam cerita ini punya kekuatannya masing-masing, dan tidak tercampur-aduk. Ada Sang Shodanco yang begitu kejam, tegas, pemberani, namun di sisi lain memiliki diri yang rapuh. Rengganis si Cantik yang begitu lugu, kekanak-kanakan, dan bisa dibilang bodoh. Kamerad Kliwon yang dipuja banyak perempuan, cerdas, namun kadang-kadang sedikit tak waras. Serta banyak tokoh lain yang bisa teman-teman temukan sendiri. Masing-masing seolah punya dinding pembatas, karakter apa milik siapa, sifat yang bagaimana dimiliki oleh siapa.
Keempat, ini satu-satunya hal yang bisa kubanggakan karena kutemukan sendiri dan bukan hasil membaca resensi lain, hehe: bahwa perempuan memiliki kedudukan penting dalam cerita tersebut. Meski kusebutkan bahwa banyak bagian yang tak senonoh bagi orang timur kebanyakan, hal itu menunjukkan pentingnya kedudukan perempuan. Meski sekedar sebagai tempat pembuangan hawa nafsu, mohon maaf, namun itu menunjukkan bahwa peranan perempuan begitu pentingnya meski pada masanya harkat wanita masih setara tanah. Itu berhubungan dengan quotes pembuka pada halaman sebelum bab 1: "Dan kini, setelah baju zirahnya dibersihkan, bagian kepalanya diperbaiki jadi sebuah topi baja, kuda dan dirinya sendiri punya nama baru, ia berpikir tak ada lagi yang ia inginkan kecuali seorang nyonya, pada siapa ia anugerahkan kekaisaran hatinya; sebab ia sadar bahwa seorang ksatria tanpa istri adalah sebatang pohon tanpa buah dan daun, dan sebongkah tubuh tanpa jiwa.". Paling tidak, itu menurutku.
Sekian poin singkat yang bisa diuraikan. Mohon maaf bila ada salah-saah, semoga bisa bermanfaat, ya. Yang paling penting, pada intinya, setiap karya punya kecantikannya masing-masing. Termasuk dalam novel Cantik Itu Luka, yang insyaAllah, kecantikan kisahnya akan aman-aman saja, tak akan mendatangkan malapetaka. Karena, tentu saja, sebuah kisah dalam novel tak akan mendatangkan luka bagimu, kecuali novel setebal 481 halaman itu dilemparkan ke wajahmu dengan keras, dan ujung-ujung halamannya melukai bibirmu hingga sobek.
Sekian! Terima kasih
Komentar
Posting Komentar