Seni Menyenangi Hal-Hal Kecil (Writing Challenge Day 5)
Ambil sebuah buku terdekatmu.
Jadi, kali ini saya melanggar peraturan. Karena tidak mengambil buku terdekat. Kalaupun dipaksa, tak ada buku yang akhir-akhir sedang giat dibaca, kecuali buku pelajaran.
Beberapa minggu lalu, sempat pinjam Ayah karya Andrea Hirata dari perpustakaan sekolah, meski sekarang terpaksa sudah dikembalikan tanpa menyelesaikannya. Membaca karya Andrea Hirata, rasanya seperti jatuh cinta untuk kedua kalinya setelah dulu pernah melahap habis tetralogi Laskar Pelangi. Sekarang saya memang tidak sedang memegang bukunya, tapi sempat memotret paragraf yang cukup membuat hati siapa saja luluh.
"Akhirnya, hujan turun, menghantam atap seng. Amiru memejamkan mata, lama, lambat laun dia mendengar sebuah irama. Dia tersenyum. Dia tersenyum karena ingin seperti ayahnya, yakni dapat menjadi senang karena hal-hal yang kecil. Seni menyenangi hal-hal yang biasa saja, begitu istilah ayahnya yang hanya tamat SMP itu. Amiru ingin menguasai seni itu sampai tingkat ayahnya telah menguasainya sehingga menjadi orang yang dapat menertawakan kesusahan. Itulah ilmu tertinggi seni menyenangi hal-hal kecil. Itulah sabuk hitamnya."
Siapa saja pasti bisa mengerti mengapa saya memilih paragraf itu. Seni menyenangi hal-hal yang biasa saja. Betul. Itu adalah suatu kebiasaan yang perlu dimiliki manusia yang banyak pikiran dalam dunia yang rumit. Menertawakan kesusahan. Benar. Kesusahan tak pernah berhenti mengekor, dimana bisa menyebabkan senewen berkepanjangan jika melulu dipikirkan.
Orang-orang seringkali bekerja terlalu keras dan berambisi hingga lupa diri. Menjadi mesin pekerja sampai lupa dengan kodratnya sebagai manusia penuh perasaan, semua daya dan usaha dikerahkan untuk nominal-nominal dan angka tanpa arti.
Padahal bahagia bisa dirasakan hanya dengan duduk di beranda, mendengar suara jangkrik, mendengar jemari beradu dengan keyboard menyelesaikan puisi bahagia, atau berbaring memejamkan mata mendengar suara kipas angin.
Lewat paragraf ini, satu hal penting yang disampaikan Andrea Hirata dan selalu perlu untuk diingat: jangan lupa caranya bersyukur.
Jadi, kali ini saya melanggar peraturan. Karena tidak mengambil buku terdekat. Kalaupun dipaksa, tak ada buku yang akhir-akhir sedang giat dibaca, kecuali buku pelajaran.
Beberapa minggu lalu, sempat pinjam Ayah karya Andrea Hirata dari perpustakaan sekolah, meski sekarang terpaksa sudah dikembalikan tanpa menyelesaikannya. Membaca karya Andrea Hirata, rasanya seperti jatuh cinta untuk kedua kalinya setelah dulu pernah melahap habis tetralogi Laskar Pelangi. Sekarang saya memang tidak sedang memegang bukunya, tapi sempat memotret paragraf yang cukup membuat hati siapa saja luluh.
"Akhirnya, hujan turun, menghantam atap seng. Amiru memejamkan mata, lama, lambat laun dia mendengar sebuah irama. Dia tersenyum. Dia tersenyum karena ingin seperti ayahnya, yakni dapat menjadi senang karena hal-hal yang kecil. Seni menyenangi hal-hal yang biasa saja, begitu istilah ayahnya yang hanya tamat SMP itu. Amiru ingin menguasai seni itu sampai tingkat ayahnya telah menguasainya sehingga menjadi orang yang dapat menertawakan kesusahan. Itulah ilmu tertinggi seni menyenangi hal-hal kecil. Itulah sabuk hitamnya."
Siapa saja pasti bisa mengerti mengapa saya memilih paragraf itu. Seni menyenangi hal-hal yang biasa saja. Betul. Itu adalah suatu kebiasaan yang perlu dimiliki manusia yang banyak pikiran dalam dunia yang rumit. Menertawakan kesusahan. Benar. Kesusahan tak pernah berhenti mengekor, dimana bisa menyebabkan senewen berkepanjangan jika melulu dipikirkan.
Orang-orang seringkali bekerja terlalu keras dan berambisi hingga lupa diri. Menjadi mesin pekerja sampai lupa dengan kodratnya sebagai manusia penuh perasaan, semua daya dan usaha dikerahkan untuk nominal-nominal dan angka tanpa arti.
Padahal bahagia bisa dirasakan hanya dengan duduk di beranda, mendengar suara jangkrik, mendengar jemari beradu dengan keyboard menyelesaikan puisi bahagia, atau berbaring memejamkan mata mendengar suara kipas angin.
Lewat paragraf ini, satu hal penting yang disampaikan Andrea Hirata dan selalu perlu untuk diingat: jangan lupa caranya bersyukur.
Komentar
Posting Komentar