Bertemu Hidayatullah
Kamis malam, bersama Mbak Endah untuk kali pertama aku bertemu adik binaanku. Di salah satu jajaran rumah kecil di daerah Keputih Tegal, aku bertemu dengan bocah laki-laki yang sudah kuketahui lebih dulu namanya.
Waktu itu malam hari, dan lampu rumah remang-remang. Melihat seorang kakak baru, ia tersenyum, dan langsung kuingat bentuk senyum yang khas itu, meski belum begitu kuhafal wajahnya dalam remang cahaya dan mata minus ini.
Sekarang, tiap kali aku datang, ia selalu senyum. Antara senyum polos dan nakal khas anak-anak usia SD, meski seharusnya ia sudah SMP sekarang. Aku mengenalinya sebagai bocah laki-laki yang lugu, nakal, polos, baik hati, dan berhati lembut. Beberapa kali ia tak fokus belajar, mengeluh dan menolak diberi soal, tapi jauh dalam hati ia punya kesadaran untuk sekolah.
Namanya Dayat. Senyumnya selalu membuatku ikut senyum. Tidak tega aku terus-terusan memaksa dia mengerjakan soal, meski pada akhirnya tetap kupaksa juga dengan cara yang santai. Rasanya selalu ingin melihat ia seyum dan enjoy dalam proses belajarnya. Seandainya Dayat seumuranku, mungkin aku sudah jatuh cinta sama Dayat. Untungnya dia masih SD, dan untungnya aku bukan pedofil.
Baru tiga minggu aku kenal Dayat. Pada pertemuan pertama aku sudah jatuh cinta padanya, melihat ia menangis dinasihati Mbak Endah, caranya terisak dan menyedot ingus, kemudian mencuci wajah dan masih sesenggukan.
Hari ini Dayat ketagihan matematika. Aku bersyukur. Baru kemarin aku memikirkan bagaimana caranya mengajar matematika pada Dayat, eh hari ini dia minta diberi soal.
Dayat, Hidayatullah. Menyisakan 2-3 jamku untuknya, tak pernah aku tahu akan menjadi pengaruh sebesar apa. Tak pernah punya waktu pula aku untuk mengenal bagaimana hidupnya pagi hari di sekolah.
Aku hanya tahu kalau Dayat punya senyum paling manis dari anak-anak lain. Hidayatullah yang bagiku punya senyum yang paling bisa melelehkan hati orang.
Waktu itu malam hari, dan lampu rumah remang-remang. Melihat seorang kakak baru, ia tersenyum, dan langsung kuingat bentuk senyum yang khas itu, meski belum begitu kuhafal wajahnya dalam remang cahaya dan mata minus ini.
Sekarang, tiap kali aku datang, ia selalu senyum. Antara senyum polos dan nakal khas anak-anak usia SD, meski seharusnya ia sudah SMP sekarang. Aku mengenalinya sebagai bocah laki-laki yang lugu, nakal, polos, baik hati, dan berhati lembut. Beberapa kali ia tak fokus belajar, mengeluh dan menolak diberi soal, tapi jauh dalam hati ia punya kesadaran untuk sekolah.
Namanya Dayat. Senyumnya selalu membuatku ikut senyum. Tidak tega aku terus-terusan memaksa dia mengerjakan soal, meski pada akhirnya tetap kupaksa juga dengan cara yang santai. Rasanya selalu ingin melihat ia seyum dan enjoy dalam proses belajarnya. Seandainya Dayat seumuranku, mungkin aku sudah jatuh cinta sama Dayat. Untungnya dia masih SD, dan untungnya aku bukan pedofil.
Baru tiga minggu aku kenal Dayat. Pada pertemuan pertama aku sudah jatuh cinta padanya, melihat ia menangis dinasihati Mbak Endah, caranya terisak dan menyedot ingus, kemudian mencuci wajah dan masih sesenggukan.
Hari ini Dayat ketagihan matematika. Aku bersyukur. Baru kemarin aku memikirkan bagaimana caranya mengajar matematika pada Dayat, eh hari ini dia minta diberi soal.
Dayat, Hidayatullah. Menyisakan 2-3 jamku untuknya, tak pernah aku tahu akan menjadi pengaruh sebesar apa. Tak pernah punya waktu pula aku untuk mengenal bagaimana hidupnya pagi hari di sekolah.
Aku hanya tahu kalau Dayat punya senyum paling manis dari anak-anak lain. Hidayatullah yang bagiku punya senyum yang paling bisa melelehkan hati orang.
Barakallah. Jazakillah, Ngitt😇
BalasHapus