Kesan Kota (Sebuah Memo)

Sabtu, 14 Juli 2018 - Monas yang Menjulang

Pagi itu aku, ibu, dan ayah berlari tergesa-gesa. Dengan gusi dan pipi ibu yang membengkak, kakiku yang keseleo, serta jari ayah yang cantengen, kami terburu-buru menuju Terminal 2 Bandara Juanda. Pesawat terbang pukul 5, dan pukul setengah 5 kami baru memarkirkan mobil. Terburu-buru masuk, meletakkan barang-barang di atas rol berjalan sinar x-ray, dan mengulurkan boarding pass, kami akhirnya duduk di pesawat dengan nafas terengah-engah.

Pagi itu, utuk kali pertama menginjakkan kaki di Jakarta pagi yang berkabut. Menumpang Bus Damri, kami bertiga menuju Stasiun Gambir--stasiun pertama yang kuketahui kalau rel kereta apinya berupa jalan layang seperti tol. Iyah ya, ndeso banget, maafkan. Kami baru bisa check in di guesthouse tempat kami menginap pukul 12 siang. Jadi, pagi itu kami menikmati weekend pagi di Monas--tepat di sebelah Gambir.

Karena kaki yang masih terasa sakit, aku belum bisa menemukan keceriaan di sana, di antara orang-orang yang lalu lalang ber-jogging, mendengarkan musik, atau sekedar berwisata dengan keluarga. Di sepanjang jalan beraspal yang membentang dari Gambir menuju pusat Monas, aku lebih banyak duduk di pinggir trotoar, sementara ibu lebih banyak berswafoto dengan tongsisnya--beberapa kali mengeluh karena backlight, atau background-nya yang tak terlihat.

Hingga menjelang siang, akhirnya kutemukan keceriaanku. Aku ikut ibu berswafoto. Kemudian kami bertiga berputar mengelilingi Monas--mencari jalan masuk, yang ternyata harus lewat terowongan bawah tanah.

Hari itu, kali pertama kami mengunjungi monumen ikonik ibukota yang banyak diperbincangkan orang. Tidak hanya di lantai dasar, setelah penantian 2 jam dengan kaki keseleo, kami bisa naik ke puncaknya. Benar. 2 jam. Naiknya saja tidak sampai setengah jam.




Minggu, 15 Juli 2018 - Kota Tua yang Mempesona

Ibu, kalo mau jalan-jalan coba ke Kota Tua. Bagus.

Begitu isi pesan singkat Mas Yayang sejak tadi malam. Tapi, kupikir ayah dan ibu tidak mau ke Kota Tua. Karena sebelum akhirnya kami turun di pemberhentian terakhir busway di Harmoni, ayah sempat mengajak kami melihat-lihat Jakarta dengan naik busway jurusan Blok M. Mungkin karena kasihan melihatku yang kesusahan berdiri di busway, ayah akhirnya memutuskan mampir ke Kota Tua.

Di tempat ini, aku menemukan keceriaan yang lebih 'lebih'. Kota Tua benar-benar cantik. Rasanya seperti bertemu dengan Noni Belanda bergaun kuno yang tersenyum cantik, setelah seharian berdesak-desakan dengan orang-orang lalu-lalang yang pergi bekerja dengan raut wajah suram. Kota Tua benar-benar cantik. Dengan sedikit sentuhan pasar seni yang indah.

Ayah bilang aku terlihat paling bahagia hari itu. Terutama ketika naik sepeda di sepanjang lapangan di belakang Museum Fatahillah--dikelilingi Museum Seni & Keramik, Kafe Batavia, Gedung Kantor Pos, Museum Wayang, dan entah gedung apa lagi namanya.

Aku naik sepeda pink cantik. Dibonceng ayah sebentar di awal, kemudian kukendarai sendiri, mengitari lapangan sambil mencintapkan tur arsitekturku sendiri.




Senin, 16 Juli 2018 - Istiqlal Tempat Tuhan Bersemayam

Semalaman, Mas Yayang akhirnya pulang dari Bandung dan tidur bersama kami, melupakan kamar kosnya untuk semalam. Ibu dan ayah pasti banyak berbincang dengannya, dan seringkali aku tidak bisa mengikuti pembicaraannya.

Pagi hari, Ibu terlihat begitu berat melepas anak lanangnya pergi bekerja. Kami hanya jumpa semalam, dan yang hatinya paling teriris-iris pasti Ibu.

Siang hari, kami menyempatkan diri mampir ke Istiqlal sebelum pulang kembali ke Pasuruan. Sama persis seperti yang terekam di TV. Interiornya dan eksterior. Bedanya, melihat dengan mata sendiri jauh lebih cantik. Lebih megah. Lebih membuatku merasa kecil.

Masjid ini mengembalikan ingatan pada kali pertama aku mengunjungi Masjid Al-Akbar Surabaya. Dinding yang sangat tinggi, kubah lebar yang membuatterkagum-kagum, dan perasaan kerdil seperti berdiri di hadapan Tuhan--rasanya seperti Tuhan sedang mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk puncak kepala dengan kasih sayang.



Malam itu, kami pulang. Lampu-lampu Kota Jakarta begitu gemerlap dan memesona. Sama cantiknya dengan Kota Tua, dengan cara yang berbeda.





Rabu, 18 Juli 2018

Pagi ini, aku kembali ke Surabaya. Dengan satu pikiran kosong--hal yang biasanya tidak kumiliki. Sepanjang hari selalu ada banyak hal yang terpikirkan, dan rasanya melelahkan.

Ketika memasuki Bundaran Waru dan melihat tulisan besar 'Surabaya' di depan Mall Cito, kepalaku agak pening, dadaku berat. Kadang-kadang, sangat sulit untuk mengubahnya, karena seolah telah menjadi kebiasaan.

Hingga beberapa hari yang lalu semua terasa nyata, tapi sekarang tidak lebih dari bayangan semata. Memasuki Surabaya, aku teringat perjalanan tiga hari di Jakarta bersama ayah ibuku. Jakarta sepertinya akan menjadi kota yang kusuka. Aku bersenang-senang dengan kedua orangtuaku di sana, dan berjumpa kakakku satu-satunya. Barangkali kamu melihatnya seperti wisata keluarga biasa. Memang biasa. Tapi rasanya menyenangkan.

Sedangkan Surabaya, ibukota propinsi tempatku sekolah, akan menjadi kota kedua setelah Pasuruan. Tiap kali memasukinya, dadaku berat. Padahal aku pernah punya optimisme dan akan terus berada di sini setidaknya beberapa tahun lagi.

Maka, aku kembali menemukan diriku; seorang anak rumahan yang selalu membutuhkan sosok 'rumah', bukan hanya tempat tinggal. Aku tidak pandai terlalu lama hidup jauh dari orangtua. Tidak pandai mencintai mereka dari kejauhan.








Surabaya, 18 Juli 2018



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Belajar Memaknai

Resensi: Dilan Bagian Kedua (Dia Adalah Dilanku Tahun 1991)