Pulang

Jalanan Surabaya memadat sore itu. Pada jalan besar kembar bermedian, kudapati motor-motor berderet-deret dengan jok penuh saling bonceng-membonceng. Suami-istri yang saling berboncengan di atas Honda Astrea keluaran 90-an, dengan kecepatan paling cepat 30 km/jam. Seorang Ayah yang menjemput gadis kecilnya di depan sebuah gerbang SMA. Babang Gojek yang menimang-nimang HP-nya menanti pesanan. Bapak-bapak sopir angkot yang sesekali mengusap peluh di dahi dengan handuk di lehernya. Segala yang dapat ditangkap mataku menjadi sebuah melankoli yang tidak berhenti-berhenti.

Katamu, kebahagiaan bisa ditemukan dalam sebungkus mi instan, atau potongan rambut gaya baru, dan baliho-baliho serta poster diskon pakaian di toko-toko. Kerap kamu mencoba banyak hal--sepatu, kemeja, jaket--tanpa membelinya. Seperti kamu bilang bahwa sesederhana itu kebahagiaan bisa didapatkan, yaitu bereksperimen di kamar pas.

Tidak kutemukan orang-orang sesederhana kamu. Ujarmu, melihat wajah teman-teman adalah karunia berharga. Tak pernah kita tahu sampai kapan mereka akan terus menjadi teman, atau sampai kapan kita bisa melihatnya, yang bisa jadi besok pagi secara mendadak tiba-tiba kita tak mampu lagi memandang wajahnya.

Telah lama kita berteman. Dan sejak kapan pikiranku berubah? Keluhan terus mengalir berduyun-duyun, menjadikan kebahagiaan sebagai sesuatu sebesar matahari yang sulit diraih. Sejauh bintang-bintang yang hampir tidak mungkin dicapai.

Padahal, dalam saku dompetku, ada sesuatu paling sederhana yang bisa membuatku bahagia. Berdenyut-denyut seakan-akan hidup.

Kuraba sakuku. Kurasakan denyut-denyut yang berdenyar. Nun di sana, sebuah kota kecil yang sangat sederhana, denyut itu berdetak dengan sangat nyata. Detak-detak nadi orang-orang yang paling kukasihi. Tinggal dalam rumah-rumah di kota yang tenang. Nun di sana, ada orang-orang yang memiliki kesederhanaan dalam mendapat kebahagiaan. Nun di sana, ada orang-orang yang menungguku pulang, dan mendapat buncahan kegembiraan ketika HP berdering dan mendapati pesan masuk, "Aku pulang".




Surabaya, 23 Agustus 2019


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Belajar Memaknai

Resensi: Dilan Bagian Kedua (Dia Adalah Dilanku Tahun 1991)