Uluran Tangan

Assalamualaikum.

Di dalam kamar kos minimalis pagi ini, ditemani cahaya matahari di timur cakrawala yang masuk menembus kaca jendela, pikiranku menerawang. Teringat sesuatu, yang indah. Yang sempat kulupakan, tetapi aku bersyukur mengalaminya.

Allah seperti sedang menyentil keningku, seperti orangtua yang menyentil kening anak-anak mereka ketika berbuat kesalahan. Berminggu-minggu, berbulan-bulan, perasaan yang tersesat dan tidak menggenggam satu buah pun peta atau kompas, Ia mengulurkan tangannya sekali lagi untuk menunjukkan arah. Tidak. Ia selalu mengulurkan tangan, tetapi aku yang jarang sekali menyambut.

Sungguh dangkal bongkahan hati seorang mahkluk bernama manusia ini. Begitu melimpah nikmat yang Ia berikan, tetapi tak pernah ada cukup ruang untuk menyadari semuanya karena hati ini begitu sempit. Begitu dangkal. Ada banyak sekali kasih sayang Tuhan, tapi seringnya lebih meminta kasih sayang kepada yang bukan Mahakasih.

Betapa kedua mata ini kembali menjadi jernih dan bisa melihat uluran tangan-Nya. Aku ingin menyambutnya, ingin untuk selalu menyambutnya. Tanpa menjadi lupa, buta, atau tuli pada semua bantuan yang selalu Tuhan kirimkan.

Forum kecil dan sederhana malam itu, membawaku pergi menuju berbulan-bulan yang lalu. Masih pada diriku yang sama--yang teledor, pelupa, tersesat, sombong, dan mungkin urakan. Tak jauh berubah. Tetapi ada beberapa hal yang bisa sedikit lebih kupahami.

Uluran tangan-Nya selalu terbuka buatmu, hanya masalah mau menyambut dan mengikutinya atau tidak.



Aku mau terus menggandeng-Mu. Membekukan bongkahan hati dangkal ini di dalam genggaman-Mu, agar ia tidak mudah terburai oleh hal-hal yang sejatinya tidak perlu dicemaskan.

Aku mau terus menggandeng-Mu. Menjadi orang-orang teramat biasa yang berkumpul dengan orang-orang yang juga teramat biasa, yang bersedia membentuk barisan panjang dan berjalan bersama dengan uluran tangan-Mu. Yang dalam kesulitan, kekhawatiran, dan keterpurukan apapun, selalu mampu menyadarkan bahwa Engkau masih menggenggam tanganku.




Surabaya, 16-08-2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Belajar Memaknai

Resensi: Dilan Bagian Kedua (Dia Adalah Dilanku Tahun 1991)