Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Di Tepi Jalan

Mendung. Surabaya yang angkuh akhirnya merendah. Apakah yang kamu sebut dengan rindu? Aku cemas ingin pergi menumpang kereta. Lancar keluar jawaban ‘ya’ ketika tawaran itu datang. Sejenak lupa dengan kepentingan di kota perantauan. Bisakah kusebut itu rindu? Apakah yang kamu sebut dengan rindu? Perasaan tertahan-tahan. Ekspresi-ekspresi melankolis. Hujan yang membikinmu melamun dan tidak produktif. Beribu kilometer jauhnya, pikiranmu merantau. Apakah itu rindu? Dahulu, kita membeli es bersama seharga lima ratus. Kamu sakit batuk suatu hari, dan bilang padaku bahwa es itu mengandung cacing. Aku muntah-muntah. Kamu iri, & kamu sukses menipuku. Di sini tak kutemukan es yang serupa. Tak kutemukan pula penipu sehandal dirimu. Mengapa aku jadi rindu? Mendung. Surabaya yang berapi-api, sejenak ingin berteduh. Di seberangku stasiun kereta. Tanpa tiket. Orang-orang berjubel. Apa yang membuatku betah di sini? Surabaya yang mendung, atau rindu?

Jeruk dari Dayat

--Kamu mengajariku cara mencintai manusia-manusia kecil --those tiny human being.-- Di usia Dayat yang kurang lebih 14 tahun, aku masih melihatnya seperti anak berusia 9 tahun. Hari ini ia pulang dari acara wisata di Bukit Flora dan Masjid Cheng Hoo. Lagi-lagi aku terlambat menjemputnya. Alhamdulillah, ada Bu Etik, guru Dayat yang dalam pertemuan singkat itu, firasatku mengatakan kalau ia adalah tipikal guru yang dicintai muridnya. Sepanjang jalan pulang, Dayat bercerita. Bukit Flora sangat bagus, Masjid Cheng Hoo sangat mempesona dengan aksen cinanya, perjalanan panjang yang macet namun dinikmati dengan bernyanyi bersama, serta ia yang minum antimo ketika hendak berangkat dan pulang, sesuai perintahku. Dayat sedang dalam keadaan senang. Setelah mengenalnya melalui perjalanan pulang sekolah selama beberapa hari, jadi kumengerti kalau Dayat sedang ingin berbagi kebahagiaan. Ia hanya ingin bercerita, dan aku hanya perlu mendengar. Tipikal Dayat yang seperti inilah yang kusuka, ...

I Found Simplicity In Him

As time goes by , sepertinya aku semakin mencintai Hidayatullah, murid pertamaku. Latar belakang arsitektur sama sekali bukan menjadi penghalang untuk belajar menjadi guru, untuk belajar memahami psikologi dan apa yang terjadi di dalam kepala kecil itu. Kudapat kesempatan dua hari untuk mengantar-jemput Dayat. Aku juga dapat laporan kalau Dayat sering terpengaruh temannya buat bolos, tidak sholat, & berbohong. Ah, aku akhirnya tahu kalau aku kurang tegas menghadapi Dayat. Becermin dari Bu Sita, seorang pengajar rakyat di Kejawan, aku tahu aku tak perlu begitu keras kepada Dayat. Aku perlu belajar tegas tanpa menjadi keras. Karena bagaimanapun, anak-anak marginal seperti Dayat telah mengalami serangkaian hal yang keras yang tidak dialami oleh orang-orang beruntung seperti kita. Di hari kedua, aku terlambat menjemput Dayat di sekolah. Satu jam lebih. Tetapi, terlihat di kejauhan, ia tetap senyum cengengesan sampai motorku berhenti tepat di dekatnya. Ia senyum dan mengangguk-ang...

Bertemu Hidayatullah

Kamis malam, bersama Mbak Endah untuk kali pertama aku bertemu adik binaanku. Di salah satu jajaran rumah kecil di daerah Keputih Tegal, aku bertemu dengan bocah laki-laki yang sudah kuketahui lebih dulu namanya. Waktu itu malam hari, dan lampu rumah remang-remang. Melihat seorang kakak baru, ia tersenyum, dan langsung kuingat bentuk senyum yang khas itu, meski belum begitu kuhafal wajahnya dalam remang cahaya dan mata minus ini. Sekarang, tiap kali aku datang, ia selalu senyum. Antara senyum polos dan nakal khas anak-anak usia SD, meski seharusnya ia sudah SMP sekarang. Aku mengenalinya sebagai bocah laki-laki yang lugu, nakal, polos, baik hati, dan berhati lembut. Beberapa kali ia tak fokus belajar, mengeluh dan menolak diberi soal, tapi jauh dalam hati ia punya kesadaran untuk sekolah. Namanya Dayat. Senyumnya selalu membuatku ikut senyum. Tidak tega aku terus-terusan memaksa dia mengerjakan soal, meski pada akhirnya tetap kupaksa juga dengan cara yang santai. Rasanya selalu i...

Jalan-Jalan Panjang

Dalam hidup, kamu terus melakukan berbagai hal. Beranjak dari kecil hingga mulai dewasa, kamu penasaran pada berbagai hal dan mencoba untuk mencaritahu. Perlombaan OSN di sekolah, OSIS, ekskul, major studi kuliah, kegiatan politik, kegiatan sosial, dan lainnya. Banyak sekali orang yang bangga dengan segudang pengalaman. Dalam CV-nya, ada banyak baris dan paragraf. Dalam pertemuan-pertemuannya, diceritakanlah CV itu dalam bentuk lisan. Tiap kali memikirkannya, acapkali ada pikiran "kelak akan kuceritakan pada anakku" yang melintas di benak. Kamu salah satunya. Yang ikut arus dan penasaran pada berbagai hal. Bukannya ingin mengatakan bahwa manusia dilarang memenuhi rasa penasaranya. Hanya, tetapi kadang-kadang apa yang dilakukan untuk memenuhi rasa penasaran tersebut tidak lagi menjadi hanya memenuhi rasa penasaran. Ada satu jalan setapak terusan yang membuatnya tidak lagi pada jalur sebenarnya. Dalam riwayat yang begitu banyak, tidak kamu temukan kedamaian. Pilihan-pilih...

Bintang-Bintang Kecil pada Senin Pagiku

Gambar
Senin, 23 Juli 2018 Pagi itu, merupakan satu rekor pertama bangun dan berangkat pagi sebagai anak kos. Aku berangkat sambil membawa dua kresek, sebuah ransel, dan segenggam semangat. Rasanya masih sangat pagi sekali waktu itu, pukul 6 sudah berangkat. Padahal dulu pun sering melakukannya ketika berada di bangku sekolah. Ada banyak sekali anak-anak berseragam berangkat sekolah diantarkan orangtuanya. Pemandangan di jalan itu seperti mengembalikan ingatan ketika masih SD dan SMP. Masih berangkat diantar dan pulang dijemput, menunggu dulu paling tidak seperempat jam di depan gerbang sekolah. Pagi itu, aku jumpa dengan orang-orang baru, dengan latar belakang berbeda, dan usia berbeda. Melaksanakan kewajiban sebagai seorang fasilitator pada kesempatan pertama mengikuti Kelas Inspirasi merupakan sesuatu yang agak sulit, setidaknya bagi diri sendiri. Dengan usia paling bungsu, rasanya kudu mampu memenuhi dan memberikan segala bantuan yang diperlukan para Mas Mbak relawan. Untung...

Kesan Kota (Sebuah Memo)

Gambar
Sabtu, 14 Juli 2018 - Monas yang Menjulang Pagi itu aku, ibu, dan ayah berlari tergesa-gesa. Dengan gusi dan pipi ibu yang membengkak, kakiku yang keseleo, serta jari ayah yang cantengen , kami terburu-buru menuju Terminal 2 Bandara Juanda. Pesawat terbang pukul 5, dan pukul setengah 5 kami baru memarkirkan mobil. Terburu-buru masuk, meletakkan barang-barang di atas rol berjalan sinar x-ray, dan mengulurkan boarding pass , kami akhirnya duduk di pesawat dengan nafas terengah-engah. Pagi itu, utuk kali pertama menginjakkan kaki di Jakarta pagi yang berkabut. Menumpang Bus Damri, kami bertiga menuju Stasiun Gambir--stasiun pertama yang kuketahui kalau rel kereta apinya berupa jalan layang seperti tol. Iyah ya, ndeso banget, maafkan. Kami baru bisa check in  di guesthouse  tempat kami menginap pukul 12 siang. Jadi, pagi itu kami menikmati weekend  pagi di Monas--tepat di sebelah Gambir. Karena kaki yang masih terasa sakit, aku belum bisa menemukan keceriaan di sana, di...

Naik Mobil Menghadap Belakang

Kalau kata Mas Hasan ketika awal masuk perkuliahan dulu, "Cobalah cari sudut pandang unik. Lakukan hal-hal yang tidak dilakukan orang lain." Kemudian, dalam perjalana pulang dari Malang sehabis mengunjungi saudara kecil, aku merasa bosan, dan kemudian duduk bersila menghadap belakang. Aku melihat mobil-mobil dibelakang kami yang melaju searah dengan kami. Jaraknya konstan, lampu depannya seperti mata kucing yang menembus gelap. Kuperhatikan, mobil-mobil berbaris seperti prajurit. Kecuali ada beberapa yang menyalip seperti orang kebelet pipis. Kalau yang biasanya kulihat adalah jendela belakang mobil dan ban cadangan, maka sekarang aku melihat jendela bagian depan. Kursi sopir dan penumpang tidak terlihat karena hari itu memang sudah malam. Kalau yang biasanya kulihat adalah punggung, maka sekarang aku melihat muka. Rasanya seperti melihat para manusia yang berlomba-lomba mencapai sesuatu--posisi, jabatan, dan berbagai ambisi lainnya. Mereka melaju ke depan, sedetik ke...

Buku dan Nyoblos

Seorang kakak tingkat mengirimkan sebuah e-book di grup line LPM kami, LPM Satu Kosong ITS. Mas Beryl sebegitu perhatiannya sampai-sampai ingat dan repot-repot mengajak kami semua membaca buku di tengah-tengah kegabutan libur lebaran sekaligus semester. Jauh hari, sebenarnya aku sudah berencana membaca buku pinjaman dari seorang teman, tapi karena Mas satu ini begitu baik hati mengajak kami produktif dengan rencana akan mendiskusikan buku itu, maka kuletakkan buku pinjaman Mas Shofyan ke prioritas kedua (maafkan saya Mas :" Awalnya, aku yang memang tidak memiliki kecenderungan politik dan bertemu dengan orang-orang seperti Mas Beryl, Mas Idfy--dan teman-teman seangkatan sekalipun seperti Affan, Brian, Wildan--rasanya sedikit risih medengar obrolan mereka soal keadaan politik di dalam dan di luar ITS, soal ideologi, dan soal siapakah politikus favoritmu. Sama seperti membaca buku ini, ketika mengerti kalau ceritanya berkisah tentang zaman Orba dan Reformasi, aku membatin, "M...

Pertemuan, Sirkus Pohon, dan Pendapatku.

Gambar
Sirkus Pohon bagiku adalah keajaiban kedua setelah tetralogi Laskar Pelangi. Keajaiban pula karena telah berhasil kuselesaikan dalam kurun waktu kurang dari sebulan, lebih tepatnya setelah menghabiskan novel teenlit  karya Mas Sayfullan yang dibeli di tahun 2014. Bincang-bincang soal buku dan Pak Cik Andrea Hirata, aku ingat dengan pertemuan bersama Mas Shofyan yang mengejutkan. Barangkali bukan pertemuan pertama, karena kami pernah jumpa di Jogja. Kami hanya belum berkenalan dan saling menghafal wajah di antara 60 peserta KampusFiksi waktu itu. Aku yang kala itu masih SMA, dan sekarang masih maba, dihadapkan pada orang-orang melek sastra macam Pak Edi, tentu saja masih bingung meraba-raba. Mas Daruz, Kak Jihan, dan banyak pula teman-teman KF yang begitu melek dan peka sastra. Aku belum punya cukup ilmu untuk nimbrung obrolan berat soal sastra, sehingga lebih suka jadi pendengar saja. Maka ketika kukatakan hal ini pada Mas Shofyan, juga memberikan pendapatku soal Cantik Itu Lu...